Thursday, October 18, 2007

Sebuah pemikiran kritis terhadap buku

DOKTER JUGA MANUSIA

Buah karya Ketua IDI, Dr. Fachmi Idris

Seseorang akan ditempatkan sebagai warga profesi apabila :

1) Bekerja purna waktu dan pekerjaan profesinya merupakan sumber penghasilan utama untuk kehidupannya

2) Pekerjaan profesi merupakan kewajiban, bukanlah uang orientasinya

3) Memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai hasil pendidikan serta latihan yang lama

4) Melakukan pekerjaan profesi atas keputusan sendiri dan otonom

5) Menggabungkan diri dalam wadah organisasi profesi karena kesamaan cita-cita bukanlah keuntungan

Pendapat saya :

Dari kalimat pertama dan kedua, terdapat sebuah antagonisme, dimana pada kalimat pertama disebutkan bahwa seorang pekerja profesi harus bekerja purna waktu (kita tahu arti purna waktu) dan menjadikan pekerjaan profesinya sebagai sumber penghasilan utama sedangkan pada kalimat kedua dikatakan bahwa uang bukanlah orientasi. Ini antagonis sekali, kalimat pertama mewajibkan setiap pekerja profesi menjadikan pekerjaan profesinya sebagai sumber penghasilan utama, dimana apa yang dikatakan penghasilan adalah bagaimana mendapatkan uang (dalam dunia nyata) sedangkan pada kalimat dua ditegaskan bahwa uang bukanlah orientasi. Bagaimana mungkin, seorang dokter sebagai pekerja profesi harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk pekerjaannya dimana ia mengharapkan dapat menghidupi keluarganya dan tanggungannya, tetapi ia juga harus berpedoman pada prinsip bahwa uang bukanlah orientasi. Kalau kita berbicara di negara maju, dimana asuransi kesehatan sudah menjadi solusi, hal ini dapat dimaklumi, seorang dokter dapat mengabdikan hidup dan waktunya untuk pekerjaan profesinya tanpa mengkhawatirkan apakah anak dan istrinya yang ada di rumah bisa makan atau tidak, karena ia dibayar bukan oleh pasien secara langsung, tetai oleh asuransi kesehatan. Tapi di negara kita, apabila seorang dokter mengabdikan hidupnya untuk dunia kedokteran yang sebenarnya, berani berjibaku di daerah untuk mengkampanyekan cara hidup sehat, mengatasi wabah penyakit, di tempat dimana masyarakatnya tidak mampu untuk membayar jasa si dokter. Bagaimanakah cara profesi ini untuk menghidupi si dokter, benarkah ia tidak berhak berorientasi kepada uang? Padahal dunia di sekitarnya sudah bergerak ke arah materialisme yang mengekang. Dan rekan sejawatnya di kota, sudah menikmati glamornya kehidupan kota, mobil mewah, dan rumah yang seperti istana. Apakah ini yang disebut keadilan di dunia profesi? Apakah prinsip ini yang harus kita pegang? Menurut saya tidak !!! seorang dokter memang harus mengabdikan diri dan kehidupannya untuk dunianya, tapi disini seorang dokter harus dapat kreatif. Apabila ia ingin memegang idealisme seperti apa yang anda paparkan dalam buku anda, ia harus mencari cara lain. Dimana ia tidak perlu resah untuk memikirkan “apakah pasien ini bisa bayar atau tidak?” dan ia juga tidak harus memikirkan “harga” untuk segala jasa yang ia berikan. Harus ada jalan lain, apabila negri ini belum siap dengan asuransi kesehatan, maka seorang dokter harus bisa kreatif, mencari jalan lain untuk mendapatkan kehidupannya dengan layak, sesuai dengan pendidikan dan latihan yang telah ia ikuti dalam waktu yang lama. Dan disinilah perlunya organisasi profesi, untuk menjembatani realita yang ada. Mencari alternatif-alternatif lain untuk dapat menghidupi sang dokter. Sudah cukup, dunia kedokteran dizholimi selama ini. Sudah cukup figuritas dokter-dokter, maaf, kaya dan arogan yang ditonjolkan di media di negeri ini. Dan disinilah peran IDI seharusnya, bagaimana kehormatan profesi ini tidak diinjak-injak oleh sekumpulan orang yang mengatasnamakan perwakilan rakyat negeri ini. Menuntut para dokter melaksanakan kewajibannya, tanpa memikirkan hak-haknya. Maaf, saya setuju dengan judul buku anda, dokter juga manusia, bukan malaikat. Dokter juga berhak atas penghidupan yang layak, sebanding dengan seluruh perjuangan dan kewajiban yang telah ia berikan dalam hidupnya.

Secara universal disepekati pula , organisasi preofesi yang baik seharusnya (memiliki ciri-ciri)

....

4) kegiatan dibatasi oleh pendidikan dan latihan

Pendapat saya :

Inilah yang ingin saya tanyakan setelah saya masuk menjadi mahasiswa kedokteran. Apa itu IDI? Bagaimana wewenangnya? Apa tugasnya? Tapi sampai saya lulus menjadi S.Ked (Sarjana Kedokteran) saya tidak pernah mendapatkan informasi langsung mengenai ini. Dan akhirnya dalam buku ini saya mendapati bahwa kegiatan IDI sebagai organisasi profesi secara idealnya dibatasi hanya oleh pendidikan dan latihan. Meskipun sekali lagi saya tidak menyetujui hal ini. Dalam beberapa paragraf kedepan, anda menyebutkan bahwa IDI bertugas sebagai advocating body, nah ini saya setuju. Tapi apakah hanya ini?